Cari

sederhana dan bahagia

Jumat, 28 Oktober 2016

Tentang Kota Tulungagung

Tulungagung merupakan wilayah kecil yang masuk karesidenan Kediri. Tepatnya di sebelah selatan kota Kediri, berjarak kurang lebih 35 km. Dipisahkan oleh sungai Brantas yang tidak hanya membatasi Tulungagung dan Kediri saja, tetapi juga Tulungagung dengan Blitar. Kenapa saya menulis ini, karena ini tanah kelahiranku tercinta. Sebagai wujud rasa bangga lahir dan tinggal di Tulungagung.
Sebagian orang yang pernah mendengar nama Tulungagung disebut-sebut,katanya takut ah. Kota Tulungagung seolah daerah yang menyeramkan. Seperti itu penilaian ketika saya berkunjung ke kota lain. Awalnya saya juga sempat bingung, lha saya selama ini tetep fine'fine aja kok. Menurut mereka, konon Tulungagung terkenal ama orang-orang yang berilmu dalam tanda kutip. Hahhh.
Pikiran seperti itu tetap dipelihara. Itu bagi saya hanya sebatas kepercayaan segelintir orang. Antara believe or not. Justru menurut saya, berilmu itu berarti memiliki kebijaksanaan hidup. Dalam bahasa jawa. dengan memiliki ilmu bisa nggayuh kawicaksanaane gusti. Setiap perilakunya akan menunjukkan wibawa dan martabat yang akan dihormati dan dihargai orang lain. Benar nggak?
Saya kira tiap-tiap daerah di Indonesia punya kepercayaaan dan adat-istiadat turun temurun yang berbeda satu sama lain yang seyogyanya bisa saling toleran dalam bingkai kebhinekaan. Semuanya dilakukan untuk bisa berinteraksi dengan penuh kearifan terhadap manusia lain serta alam yang ditempatinya sebagai hadiah dari Tuhan yang maha sempurna.

Sejarah telah mencatat, meski hanya wilayah sempit tapi kehidupan di sini sudah dimulai sejak beribu-ribu tahun sebelum masehi. Dengan ditemukannya tengkorak dan sisa-sisa fosil Homo Wajakensis, itu bukti konkret adanya kehidupan. Jadi bukan daerah yang dulunya tidak berpenghuni.
Perlu diketahui, bahwa Homo Wajakensis diperkirakan sebagai nenek moyang suku bangsa asli Australia. Mungkin muncul pertanyaan, kok bisa ada di Tulungagung. Berdasarkan penafsiran para arkeolog, kedatangan ras melayu membuat mereka semakin terdesak dan melakukan migrasi ke arah timur.
Menurut pendapat saya pribadi, kemungkinan karena bencana alam. Secara, tanah Jawa banyak gunung berapi yang sering meletus. Seperti letusan gunung Krakatau dan gunung Toba yang amat dahsyat hingga membuat memanasnya suhu bumi serta terbentuknya awan hitam yang menghalangi sinar matahari sampai ke bumi. Dan dalam sekejap membuat bumi gelap gulita, es di kutub mencair sehingga permukaan air laut naik menenggelamkan daratan. Dan Indonesia yang pada awalnya bagian benua Asia terpisah menjadi kepingan pulau-pulau kecil. Hal inilah yang mendorong adanya migrasi besar-besaran manusia pada jaman dulu.
Kembali pada pembahasan tentang Tulungagung. Jadi sudah jelas bahwa manusia purba tertua sekelas Homo Sapiens pernah hidup di sini. Di sekitar goa Song Gentong (Besole) tempat ditemukannya fosil-fosil kehidupan purba, masih terdapat sisa-sisa sampah yang berupa kerangka kerang/ hasil laut (kjokkenmodinger) dan peralatan yang terbuat dari batu. Beberapa tahun yang lalu, tim peneliti dari UGM juga menemukan fosil mirip kudanil di goa tersebut..
Kota ini tidak hanya butuh satu atau dua abad untuk bisa berubah hingga seperti saat ini. Perubahan demi perubahan telah dirintis di tahun-tahun sebelumnya di era kepemimpinan yang lama, sejak jaman kerajaan Hindu, Budha, sampai Islam. Masing-masing juga meninggalkan situs-situs bersejarah dan mewariskan budaya yang tak ternilai harganya.
Sekarang tinggal dilanjutkan dan disempurnakan. Kita semua adalah produk jaman. Tak pernah ada salahnya kita tetap berpegang pada romantisme historis yang telah begitu banyak mewariskan kekayaan sosial kultural yang menjadi etos budaya sehingga tidak ada missing link atau mata rantai yang terputus antara kita sekarang dengan sisi-sisi historis yang telah menumbuhkan generasi-generasi seperti saat ini. Sudah pas kiranya bila pemkab saat merayakan HUT kota ke 810 pada tahun kemarin,kembali mengangkat nilai-nilai budaya luhur sebagai salah satu tema acara. Sebagai contoh, parade reog kendang yang begitu spektakuler dan mampu memecahkan rekor muri serta mencuri perhatian dunia internasional.
Memaksimalkan seluruh potensi yang ada merupakan bagian penting dari pembangunan baik itu potensi lingkungan alam maupun lingkungan sosial budaya. Sungai Ngrowo yang dulunya kumuh, sekarang telah diubah menjadi tempat yang nyaman untuk refreshing saat sore hari dengan suguhan aneka kuliner yang yang tidak sampai menguras saku . Tempat kita tercinta, tumpah darah, kota Tulungagung meskipun kota kecil yang tidak banyak dikenal orang, dibangun di atas perjuangan orang2 terdahulu.
Wilayah yang sebagian besar berada di dalam cekungan dengan kondisi topografis ketinggian tempat hanya 85 m di atas permukaan laut, dibatasi oleh pegunungan kapur di sebelah selatannya dan gunung wilis di bagian barat laut. Secara geografis merupakan satu-satunya wilayah yang ada di bagian selatan sungai Brantas.
Pada jaman dulu tak pernah kering oleh luapan sungai Brantas sehingga sebagian wilayahnya membentuk rawa. Berbagai usaha dicoba supaya rawa-rawa mengering diantaranya dengan pembuatan saluran air di tengah kota sejak jaman kerajaan Mataram sebagai anak sungai Brantas yang sekarang dikenal dengan istilah kali ngrowo. Kali yang mengalir membelah kota Tulungagung menjadi dua wilayah, barat dan timur. Bagian barat masuk eks ibukota Ngrowo yakni Kalangbret dan bagian timur masuk distrik (dulu wilayah katumenggungan) Wajak.
Tidak hanya itu saja. Pembuatan waduk untuk membendung air dari lereng wilis yang kata orang sekarang menjadi waduk terbesar se asia tenggara yaitu waduk Wonorejo di kecamatan Pagerwojo.
Banjir terus terjadi pada musim hujan, hingga akhirnya pada masa pendudukan Jepang, banyak penduduk dikerahkan menjadi romusha untuk membuat saluran air memembus menerobos pegunungan kapur hingga sampai ke laut selatan (Samudra Hindia) yang sekaramg kita kenal dengan nama terowongan Neyama. Dan sekarang jadilah Tulungagung seperti ini, yang bukan rawa-rawa lagi dan bebas dari banjir.
Ceritanya tidak hanya berhenti di sini saja, semakin flashback ke masa lalu, kota tulungagung semakin menunjukkan keunikan yang tak terpecahkan sampai sekarang. Konon, tulungagung dikenal sebagai pihak yang sering memberi pertolongan pada pihak luar. Bukti sejarah mengatakan bahwa masyarakat lereng wilis pada abad 9 memberikan jasanya dengan menyediakan tempat perlindungan terhadap bala tentara kerajaan Mataram kuno dibawah pemerintahan raja Diah Balitung yang terdesak oleh serangan musuh dari timur. Bukti arkeologis dapat dilihat pada relief dan tulisan yang terpahat di candi Penampihan.
Letak lereng wilis yang cukup strategis karena terpisah oleh sungai Brantas sering dijadikan tempat berlindung bagi kerajaan lain untuk menjauh dari serangan musuh.

Hingga akhirnya pada masa pemerintahan raja kertajaya, dalam prasasti Lawadan yang dikeluarkan tgl 18 Nopember 1205, wilayah Tulungagung dibebaskan dari pajak dan upeti kerajaan serta berhak menentukan kehidupannya sendiri lepas dari campur tangan kerajaan. Itu sebagai penghargaan atas jasa besar prajurit yang telah berhasil membantu raja kembali ke istana dan menduduki singgasananya lagi.
Selanjutnya, setelah kerajaan dikalahkan oleh Ken Arok, dalam kitab pararaton juga tidak disebutkan kalau Tulungagung menjadi wilayah bagian dari kerajaan Singhasari. Itu artinya Tulungagung tetap menjadi wilayah istimewa yang secara administratif berhak mengatur pemerintahan sendiri.
Yang lebih menarik lagi adalah puteri raja Kertanegara yang merupakan istri raja pendiri kerajaan Majapahit Raden wijaya juga diabukan/dimakamkan di Tulungagung tepatnya di kecamatan Boyolangu yaitu dengan dibangunnya candi Gayatri (tertulis dalam kitab Negaralertagama). Saat ini nama Gayatri diabadikan menjadi nama terminal bus di Tulungagung.

2 komentar: