Cari

sederhana dan bahagia

Minggu, 23 Oktober 2016

Jejakku di Tangga Seribu sampai Candi Dadi

Siapa anak muda Tulungagung yang tidak kenal TS atau tangga seribu. Ini merupakan tangga yang pada awalnya dibuat sebagai jalan masuk menuju makam Eyang Tjokro. Tidak banyak yang mengenal tentang keberadaan makam ini termasuk saya sendiri. Namun pada akhirnya berubah menjadi tempat wisata bagi kawula muda maupun anak anak kecil pada hari libur sekolah. Ada biaya masuk? Ya enggaklah. Lha parkir aja gratis. Sejauh ini masih nyaman dan aman terkendali. Oh iya, tangga ini juga akan langsung tembus ke Candi Dadi.

Untuk mengetahui tempat ini, tidaklah sulit. Dari jantung kota Tulungagung (alun-alun) lurus ke selatan kita-kira 10 km an. Setelah sampai perempatan lampu merah di pasar Boyolangu, belok ke kiri menuju arah timur sejauh 3 km. Di sana akan menjumpai perempatan kantor balai desa Sanggrahan. Ini masih lurus ke timur ya guyss..., jangan belok, tetep jalan tapi pelan-pelan. Kira-kira 350 meter an, di kanan jalan kita akan menemukan gapura besar dengan ornamen batu menyerupai bentuk naga. Dan stop. Berhenti di situ, karena sudah sampai. Di gapura terdapat tulisan dengan huruf jawa yang bunyinya kira kira "Padepokan Hyang Agung Wisnu Petir".

Gapura
Dari sini kita bisa memarkir kendaraan di tempat yang telah di sediakan. Kita bisa cekrak - cekrek dulu di depan gapura. Berjalan ke dalam kita akan menemukan tempat wudhu tepat di bawah tangga naik yang disediakan untuk para peziarah makam. Btw, kita juga boleh kok wudhu, cuci kaki, maupun cuci muka. Diminum juga nggak apa-apa... He he

Tangga pertama naik
Oke guys..., berhubung kita bukan peziarah, ceritanya adalah tentang tangga seribu dan Candi Dadi. TS dan Candi Dadi ini letaknya di dsn Mojo desa Wajak Kidul kec. Boyolangu. Sebenarnya areal tangga ini adalah lahan milik pribadi, masih belum masuk kawasan perhutani. Tangga ini dibangun sebagai jalan untuk mempermudah mencapai makam. Letaknya juga di depan perkampungan penduduk, di tepi jalan sehingga orang lebih mudah menemukannya.

Perjalanan dimulai dari tangga pertama, entah pada pijakan ke berapa, sejauh 70 meter an ada pos peristirahatan. Bukan kayak pos kamling loh, hanya tempatnya datar. Cocok untuk berhenti menghimpun napas sambil duduk-duduk di anak tangga.

Bila belok ke kiri, di situ ada petunjuk arah ke obyek-obyek tertentu seperti: watu teras, watu gedeg, watu klentheng, goa landak, tempat pertapaan. Penasaran? Saya juga begitu. Akhirnya saya berusaha mencari tau sendiri dengan menuruni lereng bebatuan. Dan woww..di tempat ini ditumbuhi pohon yang batangnya putih dan lembut tekstur kulitnya. Saya tidak tau itu pohon apa.
Pohon yang kulitnya putih kayak tionghoa. Tapi sayang penuh coretan

Turun lebih ke bawah lagi, ada gunung Cilik yang di puncaknya ada batu berbentuk menyerupai punakawan. Turun ke bawah lagi ada watu gantung. Setelah puas, saya naik lagi ke atas mencari keberadaan goa landak di balik tebing. Menaiki tebing, samar-samar saya melihat ada gambar jejak telapak kaki di batuan. Tapi saya lebih peduli dengan goa.

Dari atas tebing ada jalan menurun ke bawah curam banget. Saya sampai lepas alas kaki dan turun seperti main perosotan. Dari atas goanya tampak mengerikan. Tidak dalam, tapi tangga turunnya bikin kaki gemetar. Pantesan dinamakan goa landak, seperti ceruk di dalam batuan besar. Dibawahnya lagi ada watu kolam yang selalu terisi air. Dari sini sudah tidak memungkinkan untuk turun karena jalannya licin. Kayaknya untuk turun, pantat lebih berguna ketimbang kaki, hihi.. Finally, saya putuskan kembali ke atas. Ke pos peristirahatan tadi.

Penunjuk arah ke lokasi tertentu
Dari peristirahatan pertama, naik melalui anak tangga sekitar 40 meter, langkah terhenti pada sudut tebing. Berjalan ke kiri menaiki gundukan tanah, di situ adalah sudut tempat menikmati sunset dan sunrise. Indah banget, dari sini bisa melihat pemandangan yang ada di bawah. Ada perumahan penduduk, lahan pertanian dan persawahan yang dibelah oleh sungai. Menoleh ke kanan, tampak deretan pegunungan kapur walikukun.

Inget, jangan hanya berhenti di sini, perjalanan masih panjang. Sampai sini sudah tidak ada penjual makanan dan minuman, so jika ingin berlanjut siapkan dulu perbekalan. Mungkin akan sering merasa haus di perjalanan nantinya. Bila tidak membawa minuman, sebaiknya urungkan niat untuk terus naik daripada menyerah di tengah perjalanan. Nanggung kan?

Bila ngakunya pecinta alam, teruslah naik dan naik. Meskipun hanya berupa jalan setapak, ini bukan jalan yang sepi, banyak rombongan pendaki yang akan kita temui. Di atas kita juga akan banyak berpapasan dengan para pencari rumput. Bukan cuma bapak-bapak, tapi juga ibu-ibu.

Capek? Istirahat dulu sambil menikmati pemandangan atau duduk-duduk di atas bebatuan. Sampai sini kita sudah bisa melihat atap-atap perumahan penduduk yang ada di sekitar gapura masuk tadi. Pohon yang tadi dilewati, kelihatan pucuk-pucuknya saja. Mungkin sudah di ketinggian 100 mdpl.

Para pendaki mayoritas adalah anak-anak sekolah yang dipandu oleh guru mereka. Di samping itu para petualang dari luar kota juga banyak yang berkunjung ke sini. Sebenarnya di sini juga banyak ditemukan tempat datar yang cocok untuk berkemah atau mendirikan tenda. Tapi rata-rata pengunjung hanya datang pada siang hari.
Mau kalah sama anak kecil?
Perjalanan dilanjutkan lagi. Langkah selanjutnya adalah tetap menyusuri tangga sampai menjumpai makam yang di sampingnya ada pohon walikukun besar. Saya tidak akan membahas tentang keberadaan makam ini karena tujuan awalnya bukan untuk ziarah. Dari makam, kita ambil jalur ke kanan menyusuri bebatuan terjal. Bila capek, bisa berteduh sebentar di bawah pohon. Karena setelah ini perjalanan akan naik mendaki lereng bebatuan yang terjal mengitari pegunungan kapur. Coba aja kalian bayangin betapa melelahkannya.

Perjalanan ini cukup menguras tenaga. Bagi yang merasa berkelebihan berat badan, pendakian ini bisa membakar banyak kalori dalam tubuh. Jadi sarana diet nih. Sebenarnya kalau kita jeli, bisa eksplor tiap sudut tempat secara detail, akan bisa menemukan bekas candi urug. Ah, tapi saat mendaki saya juga nggak kepikiran akan hal itu. Lebih terfokus bagaimana untuk bisa menakhlukkan lereng-lereng yang terjal dan menanjak itu.

Masih 160 mdpl
Sekitar setengah jam perjalanan, kita sampai pada pertemuan dua jalan. Menoleh ke kanan ada jalan yang merupakan jalur pendakian dari arah barat. Dan untuk tetap lanjut, kita ambil jalur ke kiri terus. Sampai di tempat datar kita bisa istirahat minum dan memulihkan energi. Sambil menikmati pemandangan dan berfoto-foto bersama sembari memulihkan tenaga.

Selesai istirahat, perjalanan bisa lanjut. Kembali mulai pendakian. Kali ini jalanan tidak lagi melalui tebing dan lereng terjal. Tapi jalan setapak biasa. Nggak sampai 1 km berjalan, kita bisa menemukan sungai yang airnya jernih di sebelah kanan. Nah, di sini kita bisa merendam kaki atau mencuci muka untuk menyegarkan kembali tubuh kita.

Di atas sungai, jalan terbelah lagi menjadi dua. Kita tetap ambil jalur ke kiri menyusuri rimbunnya rerumputan. Jalanan mulai naik lagi dan dipenuhi semak-semak dan pepohonan besar. Tetap semangat walau kaki rasanya sudah pegal, napas ngos-ngosan, seolah hampir nggak kuat. Suara kicau burung seperti meledek kami. Menantang semangat dan sisa-sisa tenaga yang ada. Huhh, tetep keep spirit lah yauw.

Istirahat di bawah pohon yang tak lebat daunnya
Keluar dari rimbunan semak-semak tadi, sampailah di pos terakhir karena perjalanan tinggal beberapa ratus meter lagi. Di sini kita harus benar-benar menyiapkan tenaga yang ekstra. Makanya istirahatnya agak lama an dikit. Istirahat dulu sambil melihat pemandangan. Pandangan lurus ke depan ke arah barat, adalah gunung budeg yang berdiri menjulang. Indah sekali guys, waktunya untuk cekrek cekrek lagi.

Setelah sekiranya cukup menghimpun tenaga lagi, perjalanan akan sampai pada akhir pendakian. Jalan akan terus menanjak. Ini medan yang paling sulit untuk ditempuh. Sedikit-sedikit istirahat tak apalah. Keringat seperti diperas mengucur deras. Bukan untuk menakut-nakuti calon pendaki, tapi ini karena pembakaran kalori yang berlangsung cepat.

Sekitar seperempat jam naik, sampailah pada tujuan kita. Dari jauh bisa dilihat bangunan candi. Yach, itulah Candi Dadi. Sampai di pelataran candi, rasa lelah seperti menghilang. Berganti rasa haru dan lega. Bahagia rasanya bisa sampai sini mengingat perjalanannya yang begitu menguras tenaga. Duduk-duduk di pelataran sambil bersantai ria, bercengkrama bersama menikmati suasana. Hhh, jadi lupa capeknya.

Untuk menceritakan secara lebih jauh mengenai candi ini, saya tidak cukup banyak referensi. Tidak adanya sumber tertulis membuat kita kesulitan untuk menafsirkannya. Candi ini merupakan candi tunggal yang berbentuk bujursangkar dengan ukuran 14 m x 14 m dan ketinggian 6,5 m. Di tengahnya ada sumuran yang berdiameter 3,5 m dan kedalaman 3 m. Candi tidak berelief ataupun berarca.  Tidak pula ada tulisan pada dindingnya. Cukup misterius kan. Tapi ada yang menafsirkan candi ini digunakan sebagai tempat pembakaran mayat. Ada pula yang menafsirkan candi ini sebagai tempat ibadah para penganut Hindu Budha yang  akibat pergolakan politik di Majapahit, mereka harus menyingkir ke tempat yang tersembunyi jauh dari keramaian. Bagaimana dengan penafsiran kalian?

Kalau menurut saya sih, dengan tafsir abal-abalan, areal candi sebenarnya cukup luas (bila ada pihak yang mampu menggali. Setelah melihat dan merasakan sendiri setiap tanjakan demi tanjakan, naiknya secara teratur dengan kemiringan antara 45-60 derajat, kemungkinan dulunya ada tangga menuju lokasi candi, namun sekarang telah tertimbun semak belukar. Saya lebih setuju dengan penafsiran yang menyatakan bahwa candi ini dibangun sebagai tempat berdo'a atau bermunajat. Candi yang tidak memiliki relief dengan ukuran simetris hampir sama dengan ukuran ka'bah. Tidak ada angka tahun dan tulisan, seolah keberadaannya bukan untuk menyampaikan bukti sejarah. Bila ini bukan bangunan penting, lantas apa tujuannya dibangun di atas bukit yang jauh sekali dari pemukiman penduduk. Bahkan letaknya dibalik punggungan bukit.Masih belum diketahui asal-muasalnya meskipun itu oleh penduduk setempat. Akan tetapi dari atas sini, kita bisa melihat panorama alam kota Tulungagung.

Nampak Gunung Budeg begitu dekat
Yang menarik dari candi ini adalah adanya sumuran di atasnya, tapi tidak memiliki tangga naik. Setahu saya, semua candi yang pernah ditemukan tidak memiliki sumuran seperti ini. Tentang fungsinya, itupun juga tidak ada yang mengetahuinya dengan pasti. Meskipun catatan sejarah menuliskan bahwa candi ini peninggalan kerajaan Majapahit, tapi belum ada bukti yang cukup kuat untuk mendukung pernyataan ini. Hanya bukti bahwa candi ini letaknya tidak terlalu jauh dengan candi Gayatri di desa Boyolangu sehingga dimungkinkan masih berhubungan erat dengan situs peninggalan Majapahit.

Candi ini sama sekali belum pernah dipugar. Hanya dirawat dan dibersihkan. Jika mungkin, saya tetap berharap suatu saat nanti pemerintah daerah  bisa lebih melirik dan mengembangkan tempat situs bersejarah ini, membangun tanpa mengurangi sisi alaminya, memberdayakannya menjadi aset wisata daerah yang indah dan menarik. Barangkali perlu dibangun anak tangga yang terpisah dengan jalur pendakian sebagai alternatif jalan naik. Supaya banyak wisatawan yang datang tentunya.
Nah, itulah sekilas tentang perjalanan kami menuju Candi Dadi lewat jalur timur.
Semoga anda semua berminat untuk berkunjung ke sini.

Candi Dadi



3 komentar:

  1. Pendakian menuju candi dadi sungguh melelahkan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Memang benar harus bawa bekal cukup. terutama air

      Hapus
  2. Play Baccarat Online | Vegas Casino & Slots
    Play Baccarat online. Enjoy amazing febcasino.com Vegas 우리카지노octcasino slots, live table games aprcasino.com and the best bonuses https://deccasino.com/review/merit-casino/ in online https://vannienailor4166blog.blogspot.com/ casino gaming right here at FEBCASINO!

    BalasHapus