Cari
sederhana dan bahagia
Jumat, 28 Oktober 2016
Tentang Kota Tulungagung
Selasa, 25 Oktober 2016
Situs Goa Pasir Tulungagung
Anda sudah tahu kan Goa Pasir? Semua anak muda di Tulungagung pastinya sudah pada tahu tempat wisata alam tersebut. Bahkan sejak jaman kakek nenekku dulu.
Tempatnya ada di desa Junjung kec. Sumbergempol Tulungagung. Namanya goa pasir, bukan goa yang ada pasirnya tapi hanya ceruk pada tebing gunung Podo. Penamaan dari desa Junjung itu sendiri mungkin karena desa itu ada tepat di bawah gunung Podo. Junjung yang artinya mengangkat. Bisa diartikan mengangkat dataran tinggi menjulang yang ada di atasnya karena lereng gunung Podo ini rentan akan terjadinya longsor. Hal ini dapat dilihat dari adanya bongkahan-bongkahan batu besar di bawah lereng perbukitan kapur.
Oke, kembali ke topik semula. Wisata alam goa pasir ini sekilas terkesan memang biasa. Hanya ceruk pada batuan tebing dengan ukuran panjang 4 meter, lebar 2.meter dan kedalaman 1,5 meter. Untuk sampai ke mulut goa harus mendaki lereng yang dipenuhi bongkahan batu-batu besar berdiameter 2,5 sampai 4 meter. Tanpa anak tangga, hanya jalan setapak berkelok diantara bongkahan batu tersebut.
Apa yang istimewa? Bongkahan-bongkahan batu itu memberikan nuansa romantisme alam pegunungan di bawah pepohonan besar sehingga tidak terkesan kering dan gersang.
Dengan relief erotis yang terpahat pada dinding goa memberikan ikon sebagai goa percintaan. Ada relief seorang pria dan wanita tengah bercumbu. Sementara pada dinding yang lain reliefnya menggambarkan seorang wanita yang sedang meremas payudaranya.
Namun demikian, bukan berarti ini goa yang berfungsi tempat memadu kasih pada jaman dahulu. Goa ini ada diperkirakan sejak jaman kerajaan Kahuripan di Kediri. Relief yang ada menggambarkan kisah perjalanan Arjuna seperti terangkum dalam kitab Kakawin Arjuna Wiwaha karangan Mpu Kanwa. Sebuah kitab kuno yang berisi kata-kata puitis tentang pencarian hakikat hidup yang sebenarnya. Diceritakan Arjuna yang sedang bertapa diganggu/digoda oleh para bidadari, namun tidak bergeming sedikitpun.
Pada bebatuan yang ada di bawah dekat pelataran padang rumput tergambar relief yang masih kasar dan seolah-olah belum selesai dikerjakan.
Di bagian barat dekat pos masuk ada makam kuno tepat di bawah pohon besar. Konon makam itu adalah makam Mbah Bodho, entah sudah ada sejak kapan. Di depan makam terdapat arca Dwarapala dan beberapa umpak. Namun arca tersebut kurang begitu terawat.
Pada undak-undakan pertama naik ke arah padang rumput seperti ada pahatan pada batu, tapi sudah hancur. Tinggal bingkahan-bongkahan kecil yang disusun tidak teratur. Mungkin karena terbuat dari tatanan batu bata berukuran agak besar dan terdesak oleh akar pohon sehingga mudah hancur.
Terakhir kali saya berkunjung ke tempat ini, terlihat adanya upaya penggalian yang dimulai dari sisi timur. Termasuk juga di lapangan rumputnya. Dari penggalian sisi timur, terlihat ada tangga dari batu yang tersusun naik. Mudah-mudahan dari pemggalian ini pada akhirnya bisa menguak misteri yang masih tersembunyi tentang goa pasir.
TS nya Tulungagung
![]() |
Gapura Masuk Tangga Seribu |
![]() |
Makam Eyang Cokro |
![]() |
Tangga naik |
Gambar di atas adalah tangga naik pada pijakan pertama. sudah tampak di sebelah kanan kiri adalah bebatuan gunung. Setelah naik pada ketinggian sekitar 50 meter, bisa beristirahat pada tempat yang agak datar sambil duduk-duduk. Dengan melihat ke atas, di sini telah dipasang petunjuk arah. Bila berjalan ke arah kiri maka akan menuruni lereng bebatuan. di situ sudah ada petunjuk-petunjuk arah menuju lokasi tertentu.
![]() |
Petunjuk Lokasi |
Penduduk sekitar sini mayoritas pekerjaannya adalah pengusaha batu koral dan pengrajin alat-alat rumah tangga dari batu, seperti: lemper, uleg-uleg, lumpang, dsb. Di samping itu mereka juga bekerja sebagai peternak dan petani. Setiap hari baik laki-laki maupun perempuan banyak yang mencari rumput sampai atas perbukitan, naik turun menyusuri lereng bebatuan. Di atas bukit juga banyak ditanami rumput dan palawija.
Sekarang tempat ini cukup ramai dikunjungi terutama di hari libur. Mulai dari anak-anak kecil, anak-anak sekolah/pramuka sampai orang tua. Ada yang sekedar ingin jalan-jalan melihat pemandangan, ada yang ingin berziarah, dan ada pula yang datang untuk keperluan olah raga. Di atas sudah tampak ada yang berjualan meskipun belum permanen. Kalau lapar, di bawah tepatnya di utara jalan ada resto kampung air dan kolam pemancingan.
Yang lebih menarik lagi, tangga ini bila naik ke atas terus akan menuju Candi Dadi yaitu candi yang di tengah-tengahnya terdapat sumuran loh. Gak percaya, segera meluncur saja ke sini. Lokasinya ada di atas bukit, dan untuk sampai ke sana mesti jalan kaki sekitar satu jam. Bila diselingi istirahat ya lebih lama sedikit lah. Tapi gak rugi, karena pemandangannya oke banget. Pingin ke sini kan? Silahkan. Tapi siapkan dulu fisik, harus sehat walafiat ya, trus bekal, dan sebaiknya pilih waktu pagi hari biar lebih enjoy, udara masih segar, plus kicau burung masih cit cit cuit. Di tengah perjalanan, kita bisa mendengar ada suara air terjun di seberang lereng yang tertutup tebing. Sepertinya alirannya cukup deras, namun saya belum melihatnya secara langsung. Mungkin lain waktu akan mencoba mendatangi arah suara air terjun tersebut.
![]() |
Pemandangan di ketinggian 250 m dpl |
![]() |
Candi Dadi |
![]() |
Petunjuk ke air terjun Hersen |
Minggu, 23 Oktober 2016
Jejakku di Tangga Seribu sampai Candi Dadi
![]() |
Gapura |
Perjalanan dimulai dari tangga pertama, entah pada pijakan ke berapa, sejauh 70 meter an ada pos peristirahatan. Bukan kayak pos kamling loh, hanya tempatnya datar. Cocok untuk berhenti menghimpun napas sambil duduk-duduk di anak tangga.
Bila belok ke kiri, di situ ada petunjuk arah ke obyek-obyek tertentu seperti: watu teras, watu gedeg, watu klentheng, goa landak, tempat pertapaan. Penasaran? Saya juga begitu. Akhirnya saya berusaha mencari tau sendiri dengan menuruni lereng bebatuan. Dan woww..di tempat ini ditumbuhi pohon yang batangnya putih dan lembut tekstur kulitnya. Saya tidak tau itu pohon apa.
![]() |
Pohon yang kulitnya putih kayak tionghoa. Tapi sayang penuh coretan |
Turun lebih ke bawah lagi, ada gunung Cilik yang di puncaknya ada batu berbentuk menyerupai punakawan. Turun ke bawah lagi ada watu gantung. Setelah puas, saya naik lagi ke atas mencari keberadaan goa landak di balik tebing. Menaiki tebing, samar-samar saya melihat ada gambar jejak telapak kaki di batuan. Tapi saya lebih peduli dengan goa.
Dari atas tebing ada jalan menurun ke bawah curam banget. Saya sampai lepas alas kaki dan turun seperti main perosotan. Dari atas goanya tampak mengerikan. Tidak dalam, tapi tangga turunnya bikin kaki gemetar. Pantesan dinamakan goa landak, seperti ceruk di dalam batuan besar. Dibawahnya lagi ada watu kolam yang selalu terisi air. Dari sini sudah tidak memungkinkan untuk turun karena jalannya licin. Kayaknya untuk turun, pantat lebih berguna ketimbang kaki, hihi.. Finally, saya putuskan kembali ke atas. Ke pos peristirahatan tadi.
Bila ngakunya pecinta alam, teruslah naik dan naik. Meskipun hanya berupa jalan setapak, ini bukan jalan yang sepi, banyak rombongan pendaki yang akan kita temui. Di atas kita juga akan banyak berpapasan dengan para pencari rumput. Bukan cuma bapak-bapak, tapi juga ibu-ibu.
Capek? Istirahat dulu sambil menikmati pemandangan atau duduk-duduk di atas bebatuan. Sampai sini kita sudah bisa melihat atap-atap perumahan penduduk yang ada di sekitar gapura masuk tadi. Pohon yang tadi dilewati, kelihatan pucuk-pucuknya saja. Mungkin sudah di ketinggian 100 mdpl.
Para pendaki mayoritas adalah anak-anak sekolah yang dipandu oleh guru mereka. Di samping itu para petualang dari luar kota juga banyak yang berkunjung ke sini. Sebenarnya di sini juga banyak ditemukan tempat datar yang cocok untuk berkemah atau mendirikan tenda. Tapi rata-rata pengunjung hanya datang pada siang hari.
Perjalanan ini cukup menguras tenaga. Bagi yang merasa berkelebihan berat badan, pendakian ini bisa membakar banyak kalori dalam tubuh. Jadi sarana diet nih. Sebenarnya kalau kita jeli, bisa eksplor tiap sudut tempat secara detail, akan bisa menemukan bekas candi urug. Ah, tapi saat mendaki saya juga nggak kepikiran akan hal itu. Lebih terfokus bagaimana untuk bisa menakhlukkan lereng-lereng yang terjal dan menanjak itu.
![]() |
Masih 160 mdpl |
Selesai istirahat, perjalanan bisa lanjut. Kembali mulai pendakian. Kali ini jalanan tidak lagi melalui tebing dan lereng terjal. Tapi jalan setapak biasa. Nggak sampai 1 km berjalan, kita bisa menemukan sungai yang airnya jernih di sebelah kanan. Nah, di sini kita bisa merendam kaki atau mencuci muka untuk menyegarkan kembali tubuh kita.
Di atas sungai, jalan terbelah lagi menjadi dua. Kita tetap ambil jalur ke kiri menyusuri rimbunnya rerumputan. Jalanan mulai naik lagi dan dipenuhi semak-semak dan pepohonan besar. Tetap semangat walau kaki rasanya sudah pegal, napas ngos-ngosan, seolah hampir nggak kuat. Suara kicau burung seperti meledek kami. Menantang semangat dan sisa-sisa tenaga yang ada. Huhh, tetep keep spirit lah yauw.
![]() |
Istirahat di bawah pohon yang tak lebat daunnya |
Setelah sekiranya cukup menghimpun tenaga lagi, perjalanan akan sampai pada akhir pendakian. Jalan akan terus menanjak. Ini medan yang paling sulit untuk ditempuh. Sedikit-sedikit istirahat tak apalah. Keringat seperti diperas mengucur deras. Bukan untuk menakut-nakuti calon pendaki, tapi ini karena pembakaran kalori yang berlangsung cepat.
Sekitar seperempat jam naik, sampailah pada tujuan kita. Dari jauh bisa dilihat bangunan candi. Yach, itulah Candi Dadi. Sampai di pelataran candi, rasa lelah seperti menghilang. Berganti rasa haru dan lega. Bahagia rasanya bisa sampai sini mengingat perjalanannya yang begitu menguras tenaga. Duduk-duduk di pelataran sambil bersantai ria, bercengkrama bersama menikmati suasana. Hhh, jadi lupa capeknya.
Untuk menceritakan secara lebih jauh mengenai candi ini, saya tidak cukup banyak referensi. Tidak adanya sumber tertulis membuat kita kesulitan untuk menafsirkannya. Candi ini merupakan candi tunggal yang berbentuk bujursangkar dengan ukuran 14 m x 14 m dan ketinggian 6,5 m. Di tengahnya ada sumuran yang berdiameter 3,5 m dan kedalaman 3 m. Candi tidak berelief ataupun berarca. Tidak pula ada tulisan pada dindingnya. Cukup misterius kan. Tapi ada yang menafsirkan candi ini digunakan sebagai tempat pembakaran mayat. Ada pula yang menafsirkan candi ini sebagai tempat ibadah para penganut Hindu Budha yang akibat pergolakan politik di Majapahit, mereka harus menyingkir ke tempat yang tersembunyi jauh dari keramaian. Bagaimana dengan penafsiran kalian?
Kalau menurut saya sih, dengan tafsir abal-abalan, areal candi sebenarnya cukup luas (bila ada pihak yang mampu menggali. Setelah melihat dan merasakan sendiri setiap tanjakan demi tanjakan, naiknya secara teratur dengan kemiringan antara 45-60 derajat, kemungkinan dulunya ada tangga menuju lokasi candi, namun sekarang telah tertimbun semak belukar. Saya lebih setuju dengan penafsiran yang menyatakan bahwa candi ini dibangun sebagai tempat berdo'a atau bermunajat. Candi yang tidak memiliki relief dengan ukuran simetris hampir sama dengan ukuran ka'bah. Tidak ada angka tahun dan tulisan, seolah keberadaannya bukan untuk menyampaikan bukti sejarah. Bila ini bukan bangunan penting, lantas apa tujuannya dibangun di atas bukit yang jauh sekali dari pemukiman penduduk. Bahkan letaknya dibalik punggungan bukit.Masih belum diketahui asal-muasalnya meskipun itu oleh penduduk setempat. Akan tetapi dari atas sini, kita bisa melihat panorama alam kota Tulungagung.
![]() |
Nampak Gunung Budeg begitu dekat |
Nah, itulah sekilas tentang perjalanan kami menuju Candi Dadi lewat jalur timur.
Semoga anda semua berminat untuk berkunjung ke sini.
![]() |
Candi Dadi |