Cari

sederhana dan bahagia

Sabtu, 22 Juli 2023

Mbalong Kawuk Tulungagung

Mbalong Kawuk adalah sebuah tempat nongkrong di kawasan Kabupaten Tulungagung timur, tepatnya di kecamatan Ngunut. Berada di desa Sumberejo Kulon, yang merupakan tanah rawa di tepi area persawahan milik Pemerintah Desa setempat.


SEJARAH AWAL

Pada mulanya tidak banyak yang mengenal tempat ini, bahkan penduduk setempat pun jarang melintas di tempat ini. Jalannya masih berupa tanah aluvial, endapan tanah liat serta penuh batu sehingga sangat tidak rata. Pada siang hari tampak sepi dan malam hari juga sangat gelap karena belum ada jaringan listrik.

Aura mistis  selalu menyelimuti tempat ini. Banyak para orang tua berpesan jika anak-anak mereka hendak melintas di tempat ini hendaklah berhati-hati dan berdoa agar senantiasa diberikan keselamatan. Tapi ini satu-satunya jalan yang menghubungkan langsung desa Sumberejo Kulon dengan desa Sumberingin Kulon. Jalan ini membelah area persawahan di sisi kanan dan kiri dan area Mbalong Kawuk berada tepat di perbatasan dua desa tersebut. 

Karena berada di area persawahan, bisa dipastikan hanya petani yang sering melintas. Itupun saat mereka menggarap atau memanen sawahnya. Anak-anak yang ikut ke sawah juga hanya bermain di lokasi yang agak jauh dari tempat ini. Karena konon Mbalong Kawuk ini dahulu masih berupa rawa-rawa yang dipenuhi semak belukar dan pohon berduri yang banyak ularnya.

Seperti apakah Mbalong Kawuk ini sebenarnya? Dari namanya saja sudah dapat diartikan kalau itu adalah sumber air. Dan mengapa ada nama Kawuk di belakangnya?

Menurut cerita para sesepuh desa Sumberejo Kulon, dahulu  Mbalong Kawuk ini adalah tempat seorang tokoh bernama Mbah Kawuk tinggal. Beliau menjaga area persawahan di sekitarnya agar tetap subur dan tidak kering diwaktu kemarau. Sampai kapan beliau tinggal, dan kalaupun telah meninggal dimana keberadaan  makamnya sampai sekarang tak seorangpun mengetahuinya.Apalagi bagaimana silsilah  keturunannya tidak banyak orang tahu karena tidak ada sumber tertulis yang bisa menjelaskannya.

Akan tetapi nama Mbah Kawuk tetap melegenda dari waktu ke waktu dan menjadi mitos turun temurun. Sehingga seolah-olah tempat ini telah dianggap sakral oleh penduduk sekitar. Acapkali ada upacara atau ritual kecil di tempat ini guna mengenang jasa tokoh yang disebut sebagai Mbah Kawuk tadi. Tempat ini telah melahirkan kearifan lokal tersendiri bagi penduduk desa Sumberejo Kulon.

Itulah sekelumit kisah mengenai Mbalong Kawuk. Dan bagaimana kabarnya sekarang. Sebelum berbicara lebih jauh, kita kembali lagi pada area yang sekarang dijadikan nongkrong tadi ya guys.


KONDISI SAAT INI

Sekarang ini Mbalong Kawuk sudah sangat berbeda dengan sebelumnya. Jalanan sudah diaspal, jaringan listrik juga sudah masuk, dan telah dibangun sedemikian rupa oleh pemerintah desa Sumberejo Kulon. Tampak asri dan teduh, itu kesan yang bisa dirasakan sekarang.

Mbalong Kawuk berupa kolam besar yang sebelumnya adalah rawa dipenuhi pepohonan rimbun dan semak belukar, lalu dikeruk dan pohonnya ditebang hingga hanya menyisakan satu pohon saja di tengahnya. Akhirnya jadilah kolam besar yang menjadi tempat  saling bertemunya beberapa anak sungai yang mengairi persawahan di sekitarnya. 

Meskipun dikeruk fungsi dari Mbalong Kawuk ini juga masih tetap sama yakni menjaga ketersediaan air guna keperluan irigasi persawahan. Sehingga saat musim kemarau pun air tetap tersedia.  Dengan adanya pengerukan, justru semakin menambah daya tarik tempat ini karena terlihat semakin terawat dan terpelihara dengan adanya  taman serta bebetapa bangunan tambahan di sebelahnya.

Dan di sebelah utara kolam, ada pendopo tani yang dibangun di bawah pohon trembesi yang cukup besar. Konon, dahulunya pendopo ini dijadikan tempat peristirahatan para petani karena tempatnya sangat nyaman, teduh, dan anginnya yang semilir, apalagi ditemani gemericik air sungai jernih di sebelahnya. Wow, serasa ingin tidur saja.

Sekarang pendopo tani ini juga dimanfaatkan sebagai warung kuliner aneka makanan lokal seperti sundukan dan jajanan tradisional. Aneka minuman pun juga tersedia. Pengunjung tidak hanya bisa menikmati udara segar di bawah pohon trembesi, tapi juga menikmati beberapa makanan hasil olahan warga. 

Pada hari-hari tertentu pendopo ini juga tetap dimanfaatkan untuk acara adat, seperti acara buka sawah dan tingkeban padi yang merupakan tradisi setiap tahun yang selalu dilakukan warga desa Sumberejo Kulon, terutama para petani ketika hendak memulai menggarap sawahnya serta ketika bulir-bulir padi sudah berisi dan mendekati masa panen.

Sampai dengan saat ini masih ada 3 pohon trembesi yang besar, entah sudah berapa tahun usianya, mungkin 100 tahun lebih. Pohonnya begitu rindang.  Di saat angin mulai menyapu daunnya, kesejukan dan kesegaran yang terasa di bawahnya. Di bawah pohon inilah biasanya anak-anak kecil bermain. Mereka biasanya bermain ayunan dan jungkat jungkit.

Kalau anak-anak kecil biasa bermain di bawahnya, lain halnya dengan orang dewasa. Mereka lebih suka mancing di sungai yang ada tidak jauh di sebelahnya. Beberapa kali pernah diadakan lomba mancing di tempat ini dengan peserta yang lumayan banyak.

Tidak salah tentunya, kalau tempat ini sekarang pun juga dijadikan tempat nongkrong atau ngadem. Letaknya juga cukup jauh dari hiruk pikuk keramaian. Selain nongkrong, juga bisa mancing di sungai. Beberapa warung di sekitar seringkali menggelar acara mancing bersama. Telah banyak vlog-vlog acara mancing di Mbalong Kawuk yang diupload di you tube.

Menengok ke sebelah selatan kolam, di sana ada pos pos pujasera. Sebelumnya tempat ini berupa lahan kosong yang hanya ada semak belukar dan pepohonan dengan tanah yang cenderung kering dan gersang. Setelah dibersihkan, ternyata juga cukup tepresentatif untuk nongkroong sambil menyantap aneka kuliner yang disajikan.

Di sebelah selatan pos pujasera, di seberang jalan atau tepatnya di barat jalan, ada satu bangunan lagi milik petani, yaitu lumbung padi. Nah, di sebelah lumbung ini juga dijadikan tempat nongkrong sambil ngopi menghadap hamparan sawah tak bertepi dan berlatarbelakang pegunungan.

Satu lagi ya guys, di sebelah selatan lumbung ini, ada tempat yang selalu dibersihkan, dirawat dan dijaga layaknya cagar budaya. Penduduk desa ini menyebutnya sebagai punden Mbah Kawuk. Dilihat sakilas, nampak seperti sebuah situs kuno, tapi juga tidak menunjuk adanya bukti tertulis di sekelilingnya. Dipercaya oleh penduduk setempat bahwa dilarang berbuat yang tidak baik di tempat ini. 

Berbicara lagi tentang Mbalong Kawuk, kolam tadi letaknya di timur jalan ya guys. Ternyata bukan hanya sekitar kolam saja kita bisa nongkrong, jauh sampai ke belakang kolam lagi, masih banyak tempat untuk rongkrong bersama keluarga. Ada lapangan rumput dan area parkir mobil yang cukuo luas. Tak ketinggalan juga ada pos-pos wahana mainan anak yang membuat acara keluarga menjadi semakin seru. Fasilitas mushola juga ada melengkapi kebutuhan ibadah pengunjung.



Mengenai situasi atau gambaran suasana siang dan malam hari, langsung buka youtube tentang Mbakong Kawuk ya guys. Banyak youtuber yang kepincut mengunggah moment-moment saat di Mbalong Kawuk.  Mungkin sayang terlewatkan. 

Bila belum pernah berkunjung dan merasa penasaran akan tempat ini, bisa googling langsung ketemu. Dari pusat kota Tulungagung, hanya berjarak kurang lebih 15 km ke arah timur. Sedangkan dari pusat kota Blitar, berjarak kurang lebih 23 km ke arah barat.




Jumat, 28 Oktober 2016

Tentang Kota Tulungagung

Tulungagung merupakan wilayah kecil yang masuk karesidenan Kediri. Tepatnya di sebelah selatan kota Kediri, berjarak kurang lebih 35 km. Dipisahkan oleh sungai Brantas yang tidak hanya membatasi Tulungagung dan Kediri saja, tetapi juga Tulungagung dengan Blitar. Kenapa saya menulis ini, karena ini tanah kelahiranku tercinta. Sebagai wujud rasa bangga lahir dan tinggal di Tulungagung.
Sebagian orang yang pernah mendengar nama Tulungagung disebut-sebut,katanya takut ah. Kota Tulungagung seolah daerah yang menyeramkan. Seperti itu penilaian ketika saya berkunjung ke kota lain. Awalnya saya juga sempat bingung, lha saya selama ini tetep fine'fine aja kok. Menurut mereka, konon Tulungagung terkenal ama orang-orang yang berilmu dalam tanda kutip. Hahhh.
Pikiran seperti itu tetap dipelihara. Itu bagi saya hanya sebatas kepercayaan segelintir orang. Antara believe or not. Justru menurut saya, berilmu itu berarti memiliki kebijaksanaan hidup. Dalam bahasa jawa. dengan memiliki ilmu bisa nggayuh kawicaksanaane gusti. Setiap perilakunya akan menunjukkan wibawa dan martabat yang akan dihormati dan dihargai orang lain. Benar nggak?
Saya kira tiap-tiap daerah di Indonesia punya kepercayaaan dan adat-istiadat turun temurun yang berbeda satu sama lain yang seyogyanya bisa saling toleran dalam bingkai kebhinekaan. Semuanya dilakukan untuk bisa berinteraksi dengan penuh kearifan terhadap manusia lain serta alam yang ditempatinya sebagai hadiah dari Tuhan yang maha sempurna.

Sejarah telah mencatat, meski hanya wilayah sempit tapi kehidupan di sini sudah dimulai sejak beribu-ribu tahun sebelum masehi. Dengan ditemukannya tengkorak dan sisa-sisa fosil Homo Wajakensis, itu bukti konkret adanya kehidupan. Jadi bukan daerah yang dulunya tidak berpenghuni.
Perlu diketahui, bahwa Homo Wajakensis diperkirakan sebagai nenek moyang suku bangsa asli Australia. Mungkin muncul pertanyaan, kok bisa ada di Tulungagung. Berdasarkan penafsiran para arkeolog, kedatangan ras melayu membuat mereka semakin terdesak dan melakukan migrasi ke arah timur.
Menurut pendapat saya pribadi, kemungkinan karena bencana alam. Secara, tanah Jawa banyak gunung berapi yang sering meletus. Seperti letusan gunung Krakatau dan gunung Toba yang amat dahsyat hingga membuat memanasnya suhu bumi serta terbentuknya awan hitam yang menghalangi sinar matahari sampai ke bumi. Dan dalam sekejap membuat bumi gelap gulita, es di kutub mencair sehingga permukaan air laut naik menenggelamkan daratan. Dan Indonesia yang pada awalnya bagian benua Asia terpisah menjadi kepingan pulau-pulau kecil. Hal inilah yang mendorong adanya migrasi besar-besaran manusia pada jaman dulu.
Kembali pada pembahasan tentang Tulungagung. Jadi sudah jelas bahwa manusia purba tertua sekelas Homo Sapiens pernah hidup di sini. Di sekitar goa Song Gentong (Besole) tempat ditemukannya fosil-fosil kehidupan purba, masih terdapat sisa-sisa sampah yang berupa kerangka kerang/ hasil laut (kjokkenmodinger) dan peralatan yang terbuat dari batu. Beberapa tahun yang lalu, tim peneliti dari UGM juga menemukan fosil mirip kudanil di goa tersebut..
Kota ini tidak hanya butuh satu atau dua abad untuk bisa berubah hingga seperti saat ini. Perubahan demi perubahan telah dirintis di tahun-tahun sebelumnya di era kepemimpinan yang lama, sejak jaman kerajaan Hindu, Budha, sampai Islam. Masing-masing juga meninggalkan situs-situs bersejarah dan mewariskan budaya yang tak ternilai harganya.
Sekarang tinggal dilanjutkan dan disempurnakan. Kita semua adalah produk jaman. Tak pernah ada salahnya kita tetap berpegang pada romantisme historis yang telah begitu banyak mewariskan kekayaan sosial kultural yang menjadi etos budaya sehingga tidak ada missing link atau mata rantai yang terputus antara kita sekarang dengan sisi-sisi historis yang telah menumbuhkan generasi-generasi seperti saat ini. Sudah pas kiranya bila pemkab saat merayakan HUT kota ke 810 pada tahun kemarin,kembali mengangkat nilai-nilai budaya luhur sebagai salah satu tema acara. Sebagai contoh, parade reog kendang yang begitu spektakuler dan mampu memecahkan rekor muri serta mencuri perhatian dunia internasional.
Memaksimalkan seluruh potensi yang ada merupakan bagian penting dari pembangunan baik itu potensi lingkungan alam maupun lingkungan sosial budaya. Sungai Ngrowo yang dulunya kumuh, sekarang telah diubah menjadi tempat yang nyaman untuk refreshing saat sore hari dengan suguhan aneka kuliner yang yang tidak sampai menguras saku . Tempat kita tercinta, tumpah darah, kota Tulungagung meskipun kota kecil yang tidak banyak dikenal orang, dibangun di atas perjuangan orang2 terdahulu.
Wilayah yang sebagian besar berada di dalam cekungan dengan kondisi topografis ketinggian tempat hanya 85 m di atas permukaan laut, dibatasi oleh pegunungan kapur di sebelah selatannya dan gunung wilis di bagian barat laut. Secara geografis merupakan satu-satunya wilayah yang ada di bagian selatan sungai Brantas.
Pada jaman dulu tak pernah kering oleh luapan sungai Brantas sehingga sebagian wilayahnya membentuk rawa. Berbagai usaha dicoba supaya rawa-rawa mengering diantaranya dengan pembuatan saluran air di tengah kota sejak jaman kerajaan Mataram sebagai anak sungai Brantas yang sekarang dikenal dengan istilah kali ngrowo. Kali yang mengalir membelah kota Tulungagung menjadi dua wilayah, barat dan timur. Bagian barat masuk eks ibukota Ngrowo yakni Kalangbret dan bagian timur masuk distrik (dulu wilayah katumenggungan) Wajak.
Tidak hanya itu saja. Pembuatan waduk untuk membendung air dari lereng wilis yang kata orang sekarang menjadi waduk terbesar se asia tenggara yaitu waduk Wonorejo di kecamatan Pagerwojo.
Banjir terus terjadi pada musim hujan, hingga akhirnya pada masa pendudukan Jepang, banyak penduduk dikerahkan menjadi romusha untuk membuat saluran air memembus menerobos pegunungan kapur hingga sampai ke laut selatan (Samudra Hindia) yang sekaramg kita kenal dengan nama terowongan Neyama. Dan sekarang jadilah Tulungagung seperti ini, yang bukan rawa-rawa lagi dan bebas dari banjir.
Ceritanya tidak hanya berhenti di sini saja, semakin flashback ke masa lalu, kota tulungagung semakin menunjukkan keunikan yang tak terpecahkan sampai sekarang. Konon, tulungagung dikenal sebagai pihak yang sering memberi pertolongan pada pihak luar. Bukti sejarah mengatakan bahwa masyarakat lereng wilis pada abad 9 memberikan jasanya dengan menyediakan tempat perlindungan terhadap bala tentara kerajaan Mataram kuno dibawah pemerintahan raja Diah Balitung yang terdesak oleh serangan musuh dari timur. Bukti arkeologis dapat dilihat pada relief dan tulisan yang terpahat di candi Penampihan.
Letak lereng wilis yang cukup strategis karena terpisah oleh sungai Brantas sering dijadikan tempat berlindung bagi kerajaan lain untuk menjauh dari serangan musuh.

Hingga akhirnya pada masa pemerintahan raja kertajaya, dalam prasasti Lawadan yang dikeluarkan tgl 18 Nopember 1205, wilayah Tulungagung dibebaskan dari pajak dan upeti kerajaan serta berhak menentukan kehidupannya sendiri lepas dari campur tangan kerajaan. Itu sebagai penghargaan atas jasa besar prajurit yang telah berhasil membantu raja kembali ke istana dan menduduki singgasananya lagi.
Selanjutnya, setelah kerajaan dikalahkan oleh Ken Arok, dalam kitab pararaton juga tidak disebutkan kalau Tulungagung menjadi wilayah bagian dari kerajaan Singhasari. Itu artinya Tulungagung tetap menjadi wilayah istimewa yang secara administratif berhak mengatur pemerintahan sendiri.
Yang lebih menarik lagi adalah puteri raja Kertanegara yang merupakan istri raja pendiri kerajaan Majapahit Raden wijaya juga diabukan/dimakamkan di Tulungagung tepatnya di kecamatan Boyolangu yaitu dengan dibangunnya candi Gayatri (tertulis dalam kitab Negaralertagama). Saat ini nama Gayatri diabadikan menjadi nama terminal bus di Tulungagung.

Selasa, 25 Oktober 2016

Situs Goa Pasir Tulungagung

Anda sudah tahu kan Goa Pasir? Semua anak muda di Tulungagung pastinya sudah pada tahu tempat wisata alam tersebut. Bahkan sejak jaman kakek nenekku dulu.
Tempatnya ada di desa Junjung kec. Sumbergempol Tulungagung. Namanya goa pasir, bukan goa yang ada pasirnya tapi hanya ceruk pada tebing gunung Podo. Penamaan dari desa Junjung itu sendiri mungkin karena desa itu ada tepat di bawah gunung Podo. Junjung yang artinya mengangkat. Bisa diartikan mengangkat dataran tinggi menjulang yang ada di atasnya karena lereng gunung Podo ini rentan akan terjadinya longsor. Hal ini dapat dilihat dari adanya bongkahan-bongkahan batu besar di bawah lereng perbukitan kapur.

Oke, kembali ke topik semula. Wisata alam goa pasir ini sekilas terkesan memang biasa. Hanya ceruk pada batuan tebing dengan ukuran panjang 4 meter, lebar 2.meter dan kedalaman 1,5 meter. Untuk sampai ke mulut goa harus mendaki lereng yang dipenuhi bongkahan batu-batu besar berdiameter 2,5 sampai 4 meter. Tanpa anak tangga, hanya jalan setapak berkelok diantara bongkahan batu tersebut.

Apa yang istimewa? Bongkahan-bongkahan batu itu memberikan nuansa romantisme alam pegunungan di bawah pepohonan besar sehingga tidak terkesan kering dan gersang.

Dengan relief erotis yang terpahat pada dinding goa memberikan ikon sebagai goa percintaan. Ada relief seorang pria dan wanita tengah bercumbu. Sementara pada dinding yang lain reliefnya menggambarkan seorang wanita yang sedang meremas payudaranya.

Namun demikian, bukan berarti ini goa yang berfungsi tempat memadu kasih pada jaman dahulu. Goa ini ada diperkirakan sejak jaman kerajaan Kahuripan di Kediri. Relief yang ada menggambarkan kisah perjalanan Arjuna seperti terangkum dalam kitab Kakawin Arjuna Wiwaha karangan Mpu Kanwa. Sebuah kitab kuno yang berisi kata-kata puitis tentang pencarian hakikat hidup yang sebenarnya. Diceritakan Arjuna yang sedang bertapa diganggu/digoda oleh para bidadari, namun tidak bergeming sedikitpun. 

Pada bebatuan yang ada di bawah dekat pelataran padang rumput tergambar relief yang masih kasar dan seolah-olah belum selesai dikerjakan.

Di bagian barat dekat pos masuk ada makam kuno tepat di bawah pohon besar. Konon makam itu adalah makam Mbah Bodho, entah sudah ada sejak kapan. Di depan makam terdapat arca Dwarapala dan beberapa umpak. Namun arca tersebut kurang begitu terawat.

Pada undak-undakan pertama naik ke arah padang rumput seperti ada pahatan pada batu, tapi sudah hancur. Tinggal bingkahan-bongkahan kecil yang disusun tidak teratur. Mungkin karena terbuat dari tatanan batu bata berukuran agak besar dan terdesak oleh akar pohon sehingga mudah hancur.

Terakhir kali saya berkunjung ke tempat ini, terlihat adanya upaya penggalian yang dimulai dari sisi timur. Termasuk juga di lapangan rumputnya. Dari penggalian sisi timur, terlihat ada tangga dari batu yang tersusun naik. Mudah-mudahan dari pemggalian ini pada akhirnya bisa menguak misteri yang masih tersembunyi tentang goa pasir.

Pos pintu masuk

TS nya Tulungagung

Gapura Masuk Tangga Seribu
TS atau lebih dikenal sebagai tangga seribu. Begitu nama yang diberikan oleh anak-anak muda di sini. Ya nggak seribu lah jumlahnya. Mungkin karena saking banyaknya tangga yang ada, so dinamakan tangga seribu. Entah kapan dibuatnya. Dua tahun yang lalu, tempat ini masih sepi. Tahun 2014 ketika saya singgah sebentar di sini, belum banyak pengunjungnya. 

Oh ya, perlu diketahui bahwa gambar gapura di atas sebenarnya adalah pintu masuk menuju pemakaman kuno, yaitu makam Eyang Cokrokusumo. Mengenai sejarah keberadaannya, hampir tidak ada orang yang mengetahuinya. Para sesepuh desa itu juga tidak bisa menjelaskannya secara gamblang. Dan alasan mengapa dibuat tulisan menggunakan huruf jawa seperti tampak pada gambar, padahal kalau dibaca itu bunyinya "Padepokan Hyang Agung Wisnu Petir", apa hubungannya dengan makam, tidak banyak orang tahu. Makam tersebut ditemukan sekitar tahun 1500-an. Karena banyaknya peziarah yang datang, kemudian dibangun jalan masuk agar orang lebih mudah untuk mengenalinya. Pada awalnya hanya para peziarah saja yang berkunjung ke sini.
Makam Eyang Cokro

Untuk dapat sampai menuju makam harus berjalan menaiki begitu banyak anak tangga. Di bawah tangga naik telah disediakan tempat wudhu bagi para peziarah. Mungkin akan capek bila belum terbiasa naik. Jadi sesekali bisa berhenti untuk istirahat sekaligus mengambil napas. Karena tangganya akan terus menaiki atas bukit. Ketika hampir mendekati makam, jalan berganti dengan cor rata tapi tetap menanjak. Ketika sampai tanjakan batu besar, jalan berganti dengan paving.

Tangga naik

Gambar di atas adalah tangga naik pada pijakan pertama. sudah tampak di sebelah kanan kiri adalah bebatuan gunung. Setelah naik pada ketinggian sekitar 50 meter, bisa beristirahat pada tempat yang agak datar sambil duduk-duduk. Dengan melihat ke atas, di sini telah dipasang petunjuk arah. Bila berjalan ke arah kiri maka akan menuruni lereng bebatuan. di situ sudah ada petunjuk-petunjuk arah menuju lokasi tertentu.

Petunjuk Lokasi
Tempat ini masih sangat alami meskipun letaknya di antara pemukiman penduduk. Bahkan lahan di sekitar gapura dan tangga naik inipun masih lahan milik pribadi. Jadi belum masuk wilayah perhutani. Tempat ini masih dalam deretan pegunungan Walikukun. Dinamakan pegunungan Walikukun mungkin karena di pegunungan ini banyak di temukan pohon walikukun.

Penduduk sekitar sini mayoritas pekerjaannya adalah pengusaha batu koral dan pengrajin alat-alat rumah tangga dari batu, seperti: lemper, uleg-uleg, lumpang, dsb. Di samping itu mereka juga bekerja sebagai peternak dan petani. Setiap hari baik laki-laki maupun perempuan  banyak yang mencari rumput sampai atas perbukitan, naik turun menyusuri lereng bebatuan. Di atas bukit juga banyak ditanami rumput dan palawija.

Sekarang tempat ini cukup ramai dikunjungi terutama di hari libur. Mulai dari anak-anak kecil, anak-anak sekolah/pramuka sampai orang tua. Ada yang sekedar ingin jalan-jalan melihat pemandangan, ada yang ingin berziarah, dan ada pula yang datang untuk keperluan olah raga. Di atas sudah tampak ada yang berjualan meskipun belum permanen. Kalau lapar, di bawah tepatnya di utara jalan ada resto kampung air dan kolam pemancingan.

Yang lebih menarik lagi, tangga ini bila naik ke atas terus akan menuju Candi Dadi yaitu candi yang di tengah-tengahnya terdapat sumuran loh. Gak percaya, segera meluncur saja ke sini. Lokasinya ada di atas bukit, dan untuk sampai ke sana mesti jalan kaki sekitar satu jam. Bila diselingi istirahat ya lebih lama sedikit lah. Tapi gak rugi, karena pemandangannya oke banget. Pingin ke sini kan? Silahkan. Tapi siapkan dulu fisik, harus sehat walafiat ya, trus bekal, dan sebaiknya pilih waktu pagi hari biar lebih enjoy, udara masih segar, plus kicau burung masih cit cit cuit. Di tengah perjalanan, kita bisa mendengar ada suara air terjun di seberang lereng yang tertutup tebing. Sepertinya alirannya cukup deras, namun saya belum melihatnya secara langsung. Mungkin lain waktu akan mencoba mendatangi arah suara air terjun tersebut.


Pemandangan di ketinggian 250 m dpl

Oke, segera meluncur ke sini ya. Di desa Wajak Kidul kecamatan Boyolangu kabupaten Tulungagung, Jawa Timur.
Nih, saya kasih rute yang gampang.
Dari titik nol km (alun-alun) Tulungagung, ke selatan sejauh 10 an kilometer. Sampai perempatan lampu merah pasar Boyolangu, lalu belok ke kiri 3 km. Jalan terus nggak usah belok. Sampai perempatan kantor Balai Desa Sanggrahan, kurangi kecepatan, jalannya agak pelan. Jarak 300 meter lihat di kanan jalan ada gapura dengan tulisan huruf jawa. Nah, itu dia. Sudah sampai.
Saya ucapkan selamat berkunjung dan naik-naik sampai atas. Ketika sudah sampai sini, sempatkan juga singgah di Goa Pasir dan Pathok Candi Dadi.

Candi Dadi



Petunjuk ke air terjun Hersen



Minggu, 23 Oktober 2016

Jejakku di Tangga Seribu sampai Candi Dadi

Siapa anak muda Tulungagung yang tidak kenal TS atau tangga seribu. Ini merupakan tangga yang pada awalnya dibuat sebagai jalan masuk menuju makam Eyang Tjokro. Tidak banyak yang mengenal tentang keberadaan makam ini termasuk saya sendiri. Namun pada akhirnya berubah menjadi tempat wisata bagi kawula muda maupun anak anak kecil pada hari libur sekolah. Ada biaya masuk? Ya enggaklah. Lha parkir aja gratis. Sejauh ini masih nyaman dan aman terkendali. Oh iya, tangga ini juga akan langsung tembus ke Candi Dadi.

Untuk mengetahui tempat ini, tidaklah sulit. Dari jantung kota Tulungagung (alun-alun) lurus ke selatan kita-kira 10 km an. Setelah sampai perempatan lampu merah di pasar Boyolangu, belok ke kiri menuju arah timur sejauh 3 km. Di sana akan menjumpai perempatan kantor balai desa Sanggrahan. Ini masih lurus ke timur ya guyss..., jangan belok, tetep jalan tapi pelan-pelan. Kira-kira 350 meter an, di kanan jalan kita akan menemukan gapura besar dengan ornamen batu menyerupai bentuk naga. Dan stop. Berhenti di situ, karena sudah sampai. Di gapura terdapat tulisan dengan huruf jawa yang bunyinya kira kira "Padepokan Hyang Agung Wisnu Petir".

Gapura
Dari sini kita bisa memarkir kendaraan di tempat yang telah di sediakan. Kita bisa cekrak - cekrek dulu di depan gapura. Berjalan ke dalam kita akan menemukan tempat wudhu tepat di bawah tangga naik yang disediakan untuk para peziarah makam. Btw, kita juga boleh kok wudhu, cuci kaki, maupun cuci muka. Diminum juga nggak apa-apa... He he

Tangga pertama naik
Oke guys..., berhubung kita bukan peziarah, ceritanya adalah tentang tangga seribu dan Candi Dadi. TS dan Candi Dadi ini letaknya di dsn Mojo desa Wajak Kidul kec. Boyolangu. Sebenarnya areal tangga ini adalah lahan milik pribadi, masih belum masuk kawasan perhutani. Tangga ini dibangun sebagai jalan untuk mempermudah mencapai makam. Letaknya juga di depan perkampungan penduduk, di tepi jalan sehingga orang lebih mudah menemukannya.

Perjalanan dimulai dari tangga pertama, entah pada pijakan ke berapa, sejauh 70 meter an ada pos peristirahatan. Bukan kayak pos kamling loh, hanya tempatnya datar. Cocok untuk berhenti menghimpun napas sambil duduk-duduk di anak tangga.

Bila belok ke kiri, di situ ada petunjuk arah ke obyek-obyek tertentu seperti: watu teras, watu gedeg, watu klentheng, goa landak, tempat pertapaan. Penasaran? Saya juga begitu. Akhirnya saya berusaha mencari tau sendiri dengan menuruni lereng bebatuan. Dan woww..di tempat ini ditumbuhi pohon yang batangnya putih dan lembut tekstur kulitnya. Saya tidak tau itu pohon apa.
Pohon yang kulitnya putih kayak tionghoa. Tapi sayang penuh coretan

Turun lebih ke bawah lagi, ada gunung Cilik yang di puncaknya ada batu berbentuk menyerupai punakawan. Turun ke bawah lagi ada watu gantung. Setelah puas, saya naik lagi ke atas mencari keberadaan goa landak di balik tebing. Menaiki tebing, samar-samar saya melihat ada gambar jejak telapak kaki di batuan. Tapi saya lebih peduli dengan goa.

Dari atas tebing ada jalan menurun ke bawah curam banget. Saya sampai lepas alas kaki dan turun seperti main perosotan. Dari atas goanya tampak mengerikan. Tidak dalam, tapi tangga turunnya bikin kaki gemetar. Pantesan dinamakan goa landak, seperti ceruk di dalam batuan besar. Dibawahnya lagi ada watu kolam yang selalu terisi air. Dari sini sudah tidak memungkinkan untuk turun karena jalannya licin. Kayaknya untuk turun, pantat lebih berguna ketimbang kaki, hihi.. Finally, saya putuskan kembali ke atas. Ke pos peristirahatan tadi.

Penunjuk arah ke lokasi tertentu
Dari peristirahatan pertama, naik melalui anak tangga sekitar 40 meter, langkah terhenti pada sudut tebing. Berjalan ke kiri menaiki gundukan tanah, di situ adalah sudut tempat menikmati sunset dan sunrise. Indah banget, dari sini bisa melihat pemandangan yang ada di bawah. Ada perumahan penduduk, lahan pertanian dan persawahan yang dibelah oleh sungai. Menoleh ke kanan, tampak deretan pegunungan kapur walikukun.

Inget, jangan hanya berhenti di sini, perjalanan masih panjang. Sampai sini sudah tidak ada penjual makanan dan minuman, so jika ingin berlanjut siapkan dulu perbekalan. Mungkin akan sering merasa haus di perjalanan nantinya. Bila tidak membawa minuman, sebaiknya urungkan niat untuk terus naik daripada menyerah di tengah perjalanan. Nanggung kan?

Bila ngakunya pecinta alam, teruslah naik dan naik. Meskipun hanya berupa jalan setapak, ini bukan jalan yang sepi, banyak rombongan pendaki yang akan kita temui. Di atas kita juga akan banyak berpapasan dengan para pencari rumput. Bukan cuma bapak-bapak, tapi juga ibu-ibu.

Capek? Istirahat dulu sambil menikmati pemandangan atau duduk-duduk di atas bebatuan. Sampai sini kita sudah bisa melihat atap-atap perumahan penduduk yang ada di sekitar gapura masuk tadi. Pohon yang tadi dilewati, kelihatan pucuk-pucuknya saja. Mungkin sudah di ketinggian 100 mdpl.

Para pendaki mayoritas adalah anak-anak sekolah yang dipandu oleh guru mereka. Di samping itu para petualang dari luar kota juga banyak yang berkunjung ke sini. Sebenarnya di sini juga banyak ditemukan tempat datar yang cocok untuk berkemah atau mendirikan tenda. Tapi rata-rata pengunjung hanya datang pada siang hari.
Mau kalah sama anak kecil?
Perjalanan dilanjutkan lagi. Langkah selanjutnya adalah tetap menyusuri tangga sampai menjumpai makam yang di sampingnya ada pohon walikukun besar. Saya tidak akan membahas tentang keberadaan makam ini karena tujuan awalnya bukan untuk ziarah. Dari makam, kita ambil jalur ke kanan menyusuri bebatuan terjal. Bila capek, bisa berteduh sebentar di bawah pohon. Karena setelah ini perjalanan akan naik mendaki lereng bebatuan yang terjal mengitari pegunungan kapur. Coba aja kalian bayangin betapa melelahkannya.

Perjalanan ini cukup menguras tenaga. Bagi yang merasa berkelebihan berat badan, pendakian ini bisa membakar banyak kalori dalam tubuh. Jadi sarana diet nih. Sebenarnya kalau kita jeli, bisa eksplor tiap sudut tempat secara detail, akan bisa menemukan bekas candi urug. Ah, tapi saat mendaki saya juga nggak kepikiran akan hal itu. Lebih terfokus bagaimana untuk bisa menakhlukkan lereng-lereng yang terjal dan menanjak itu.

Masih 160 mdpl
Sekitar setengah jam perjalanan, kita sampai pada pertemuan dua jalan. Menoleh ke kanan ada jalan yang merupakan jalur pendakian dari arah barat. Dan untuk tetap lanjut, kita ambil jalur ke kiri terus. Sampai di tempat datar kita bisa istirahat minum dan memulihkan energi. Sambil menikmati pemandangan dan berfoto-foto bersama sembari memulihkan tenaga.

Selesai istirahat, perjalanan bisa lanjut. Kembali mulai pendakian. Kali ini jalanan tidak lagi melalui tebing dan lereng terjal. Tapi jalan setapak biasa. Nggak sampai 1 km berjalan, kita bisa menemukan sungai yang airnya jernih di sebelah kanan. Nah, di sini kita bisa merendam kaki atau mencuci muka untuk menyegarkan kembali tubuh kita.

Di atas sungai, jalan terbelah lagi menjadi dua. Kita tetap ambil jalur ke kiri menyusuri rimbunnya rerumputan. Jalanan mulai naik lagi dan dipenuhi semak-semak dan pepohonan besar. Tetap semangat walau kaki rasanya sudah pegal, napas ngos-ngosan, seolah hampir nggak kuat. Suara kicau burung seperti meledek kami. Menantang semangat dan sisa-sisa tenaga yang ada. Huhh, tetep keep spirit lah yauw.

Istirahat di bawah pohon yang tak lebat daunnya
Keluar dari rimbunan semak-semak tadi, sampailah di pos terakhir karena perjalanan tinggal beberapa ratus meter lagi. Di sini kita harus benar-benar menyiapkan tenaga yang ekstra. Makanya istirahatnya agak lama an dikit. Istirahat dulu sambil melihat pemandangan. Pandangan lurus ke depan ke arah barat, adalah gunung budeg yang berdiri menjulang. Indah sekali guys, waktunya untuk cekrek cekrek lagi.

Setelah sekiranya cukup menghimpun tenaga lagi, perjalanan akan sampai pada akhir pendakian. Jalan akan terus menanjak. Ini medan yang paling sulit untuk ditempuh. Sedikit-sedikit istirahat tak apalah. Keringat seperti diperas mengucur deras. Bukan untuk menakut-nakuti calon pendaki, tapi ini karena pembakaran kalori yang berlangsung cepat.

Sekitar seperempat jam naik, sampailah pada tujuan kita. Dari jauh bisa dilihat bangunan candi. Yach, itulah Candi Dadi. Sampai di pelataran candi, rasa lelah seperti menghilang. Berganti rasa haru dan lega. Bahagia rasanya bisa sampai sini mengingat perjalanannya yang begitu menguras tenaga. Duduk-duduk di pelataran sambil bersantai ria, bercengkrama bersama menikmati suasana. Hhh, jadi lupa capeknya.

Untuk menceritakan secara lebih jauh mengenai candi ini, saya tidak cukup banyak referensi. Tidak adanya sumber tertulis membuat kita kesulitan untuk menafsirkannya. Candi ini merupakan candi tunggal yang berbentuk bujursangkar dengan ukuran 14 m x 14 m dan ketinggian 6,5 m. Di tengahnya ada sumuran yang berdiameter 3,5 m dan kedalaman 3 m. Candi tidak berelief ataupun berarca.  Tidak pula ada tulisan pada dindingnya. Cukup misterius kan. Tapi ada yang menafsirkan candi ini digunakan sebagai tempat pembakaran mayat. Ada pula yang menafsirkan candi ini sebagai tempat ibadah para penganut Hindu Budha yang  akibat pergolakan politik di Majapahit, mereka harus menyingkir ke tempat yang tersembunyi jauh dari keramaian. Bagaimana dengan penafsiran kalian?

Kalau menurut saya sih, dengan tafsir abal-abalan, areal candi sebenarnya cukup luas (bila ada pihak yang mampu menggali. Setelah melihat dan merasakan sendiri setiap tanjakan demi tanjakan, naiknya secara teratur dengan kemiringan antara 45-60 derajat, kemungkinan dulunya ada tangga menuju lokasi candi, namun sekarang telah tertimbun semak belukar. Saya lebih setuju dengan penafsiran yang menyatakan bahwa candi ini dibangun sebagai tempat berdo'a atau bermunajat. Candi yang tidak memiliki relief dengan ukuran simetris hampir sama dengan ukuran ka'bah. Tidak ada angka tahun dan tulisan, seolah keberadaannya bukan untuk menyampaikan bukti sejarah. Bila ini bukan bangunan penting, lantas apa tujuannya dibangun di atas bukit yang jauh sekali dari pemukiman penduduk. Bahkan letaknya dibalik punggungan bukit.Masih belum diketahui asal-muasalnya meskipun itu oleh penduduk setempat. Akan tetapi dari atas sini, kita bisa melihat panorama alam kota Tulungagung.

Nampak Gunung Budeg begitu dekat
Yang menarik dari candi ini adalah adanya sumuran di atasnya, tapi tidak memiliki tangga naik. Setahu saya, semua candi yang pernah ditemukan tidak memiliki sumuran seperti ini. Tentang fungsinya, itupun juga tidak ada yang mengetahuinya dengan pasti. Meskipun catatan sejarah menuliskan bahwa candi ini peninggalan kerajaan Majapahit, tapi belum ada bukti yang cukup kuat untuk mendukung pernyataan ini. Hanya bukti bahwa candi ini letaknya tidak terlalu jauh dengan candi Gayatri di desa Boyolangu sehingga dimungkinkan masih berhubungan erat dengan situs peninggalan Majapahit.

Candi ini sama sekali belum pernah dipugar. Hanya dirawat dan dibersihkan. Jika mungkin, saya tetap berharap suatu saat nanti pemerintah daerah  bisa lebih melirik dan mengembangkan tempat situs bersejarah ini, membangun tanpa mengurangi sisi alaminya, memberdayakannya menjadi aset wisata daerah yang indah dan menarik. Barangkali perlu dibangun anak tangga yang terpisah dengan jalur pendakian sebagai alternatif jalan naik. Supaya banyak wisatawan yang datang tentunya.
Nah, itulah sekilas tentang perjalanan kami menuju Candi Dadi lewat jalur timur.
Semoga anda semua berminat untuk berkunjung ke sini.

Candi Dadi